UPAYA UNTUK
MENCAPAI KEMAMPUAN TINGKAT TINGGI DAN PEMBINAAN MORAL SISWA DALAM PEMBELAJAR
I. PENDAHULUAN
A.Penilaian
Penilaian adalah upaya atau tindakan
untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai atau
tidak. Dengan kata lain, penilaian berfungsi sebagai alat untuk mengtahui
keberhasilan proses dan hasil belajar siswa. Dalam sistem pendidikan nasional
rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional,
menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis
besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan
ranah psikomotorik.
Salah satu prinsip dasar yang harus
senantiasa diperhatikan dan dipegangi dalam rangka evaluasi hasil belajar
adalah prinsip kebulatan, dengan prinsip evaluator dalam melaksanakan evaluasi
hasil belajar dituntut untuk mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta
didik, baik dari segi pemahamannya terhadap materi atau bahan pelajaran yang
telah diberikan (aspek kognitif), maupun dari segi penghayatan (aspek afektif),
dan pengamalannya (aspek psikomotor).
Ketiga aspek atau ranah kejiwaan itu
erat sekali dan bahkan tidak mungkin dapat dilepaskan dari kegiatan atau proses
evaluasi hasil belajar. Benjamin S. Bloom dan kawan-kawannya itu berpendapat
bahwa pengelompokkan tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu kepada tiga
jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta
didik, yaitu:
a) Ranah proses berfikir (cognitive
domain)
b) Ranah nilai atau sikap (affective
domain)
c) Ranah keterampilan (psychomotor
domain)
Dalam
konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga domain atau ranah itulah yang harus
dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar. Sasaran
kegiatan evaluasi hasil belajar adalah:
1) Apakah peserta didik sudah dapat
memahami semua bahan atau materi pelajaran yang telah diberikan pada mereka?
2) Apakah peserta didik sudah dapat
menghayatinya?
3) Apakah materi pelajaran yang
telah diberikan itu sudah dapat diamalkan secara kongkret dalam praktek atau
dalam kehidupannya sehari-hari?
Ketiga ranah tersebut menjadi obyek
penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang
paling banyak dinilai oleh para guru disekolah karena berkaitan dengan
kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran..
Beberapa aspek kognitif tingkat rendah, seperti pengetahuan, pemahaman dan
sedikit penerapan. Sedangkan tingkat analisis, sintesis dan evaluasi .
Apabila semua tingkat kognitif diterapkan secara merata dan terus-menerus maka
hasil pendidikan akan lebih baik.
Tabel
Kaitan antara kegiatan pembelajaran dengan domain tingkatan aspek
kognitif
No
|
Tingkatan
|
Deskripsi
|
1
|
Pengetahuan
|
Arti:
Pengetahuan terhadap fakta, konsep, definisi, nama, peristiwa, tahun, daftar,
teori, prosedur,dll.
Contoh
kegiatan belajar:
|
2
|
Pemahaman
|
Arti:pengertian
terhadap hubungan antar-faktor, antar konsep, dan antar data hubungan sebab
akibat penarikan kesimpulan
Contoh
kegiatan belajar:
¨
Mengungkapakan gagasan dan pendapat dengan kata-kata sendiri
¨
Membedakan atau membandingkan
¨
Mengintepretasi data
¨
Mendriskripsikan dengan kata-kata sendiri
¨
Menjelaskan gagasan pokok
¨
Menceritakan kembali dengan kata-kata sendiri
|
3
|
Aplikasi
|
Arti:
Menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah atau menerapkan pengetahuan
dalam kehidupan sehari-hari
Contoh
kegiatan:
|
4
|
Analisis
|
Artinya:
menentukan bagian-bagian dari suatu masalah, penyelesaian, atau gagasan dan
menunjukkan hubungan antar bagian tersebut
Contoh
kegiatan belajar:
|
5
|
Sintesis
|
Artinya:
menggabungkan berbagai informasi menjadi satu kesimpulan/konsepatau
meramu/merangkai berbagai gagasan menjadi suatu hal yang baru
Contoh
kegiatan belajar:
v
Membuat desain
v
Menemukan solusi masalah
v
Menciptakan produksi baru,dst.
|
6
|
Evaluasi
|
Arti:
mempertimbangkan dan menilai benar-salah, baik-buruk, bermanfaat-tidak
bermanfaat
Contoh
kegiatan belajar:
Mempertahankan
pendapat
Membahas
suatu kasus
Memilih
solusi yang lebih baik
Menulis laporan,dst.
|
B.Tahapan
Pembelajaran
Tahapan pembelajaran yang sesuai dengan pemikiran siswa akan memudahkan
guru untuk mendorong siswa berpikir tingkat tinggi. Enam tahapan aktivitas yang
harus dilalui siswa agar dapat mengembangkan berpikir tingkat tinggi siswa
adalah : 1) menggali informasi yang dibutuhkan; 2) mengajukan dugaan; 3) melakukan inkuiri; 4) membuat konjektur
;5) mencari alternatif ;6) menarik kesimpulan
Pada
umumnya pembelajaran di sekolah masih terfokus pada guru, dan belum berpusat
pada siswa. Pembelajaran di sekolah lebih bersifat menghafal atau pengetahuan
faktual, hal ini menjadikan pembelajaran tidak searah dengan tujuan pendidikan
Nasional. Salah satu tujuan pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan
kemampuan siswa berpikir kritis, berpikir logis, sistematis, bersifat objektif,
jujur dan disiplin dalam memandang dan menyelesaikan masalah yang berguna untuk
kehidupan dalam masyarakat termasuk dunia kerja. Mata pelajaran hanyalah sebuah
alat untuk mencapai tujuan, untuk dapat melatih siswa memiliki keterampilan
berpikir.
Salah
satu keterampilan berpikir adalah berpikir tingkat tinggi (higher order
thingking). Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan suatu kemampuan berpikir yang tidak
hanya membutuhkan kemampuan mengingat saja, namun membutuhkan kemampuan lain
yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir kreatif dan kritis. Masalah
selanjutnya adalah bagaimana mengajarkan keterampilan berpikir secara
eksplisit dan memadukannya dengan materi pembelajaran khususnya mata pelajaran
matematika yang dapat membantu para siswa untuk mengembangkan kemapuan
berpikirnya. Di lain pihak objek matematika
yang abstrak menjadikan matematika dianggap
sulit oleh siswa, khususnya bagi tingkat SD yang umumnya masih berada pada
tahapan berpikir konkrit akan menghambat kemampuan berpikir tingkat tinggi
siswa. Makalah ini mencoba menjabarkan aktivitas dalam pembelajaran
matematika di SD yang dapat mendayagunakan kemampuan berpikir tingkat tinggi
siswa.
1.Tahap
Berpikir Siswa SD
Untuk
mengajarkan konsep matematika pada anak SD, pengajar harus mengetahui cara
berpikir anak. Menurut Piaget (1972), tahapan perkembangan kognitif anak SD
berapa pada tahap praoperasional hingga operasional konkrit. Piaget menggunakan
istilah operasional konkrit untuk menggambarkan kemampuan berpikir pada tahap
ini disebut “dapat berpikir” (Woolfolk, A. E, 1995:36). Karateristik berpikir
anak pada tahap periode berpikir konkrit ini, antara lain :kombinivitas atau
klasifikasi, reversibilitas, asosiavitas, identitas, korespondensi satu-satu
antar objek-objek dari dua kelas, dan kesadaran adanya prinsip-prinsip
konservasi
Dengan kemampuan melakukan konservasi, kombinativitas dan
asosiativitas, anak sudah mampu mengembangkan dan berfikir sangat logis. Sistem
berpikir ini, bagaimanapun masih terikat pada realitas atau situasi konkrit.
Logika anak masih didasarkan pada situasi konkrit yang dapat diorganisir,
diklasifikasikan atau dimanipulasi. Anak belum dapat berpikir hipotesis dan
menyelesesaikan masalah-masalah abstrak yang pemecahannya berkoordinasi dengan
banyak faktor.
Kemampuan kognitif
berkaitan dengan kemampuan berpikir yang mencakup kemampuan intelektual, mulai
dari proses mengenal dilanjutkan dengan proses mengingat (menghafal) kemudian
memahami dan memproses informasi apa yang telah diperoleh. Informasi yang
diterima pada saat belajar, akan disimpan dalam ranah kognitif, sehingga akan
menghasilkan pengetahuan dan keterampilan.
Bruner menyatakan bahwa belajar akan
lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan
struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping
hubungan yang terkait antar konsep-konsep dan struktur.
Kemampuan kognitif seorang anak
berkembang sesuai dengan tahapan usianya, dimana dalam perkembangannya, menurut
Piaget, dipengaruhi oleh tiga faktor (Herman Hudoyo, 1988) yaitu :kematangan,
trasmisi sosial dan keseimbangan.
2.Berpikir
Tingkat Tinggi
Secara khusus, Tran Vui (2001:5) mendefinisikan kemampuan berpikir
tingkat tinggi sebagai berikut: “Higher
order thinking occurs when a person takes new information and information
stored in memory and interrelates and/or rearranges and extends this
information to achieve a purpose or find possible answers in perplexing
situations”. Dengan demikian, kemampuan berpikir tingkat tinggi akan
terjadi ketika seseorang mengaitkan informasi baru dengan informasi yang sudah
tersimpan di dalam ingatannya dan menghubung-hubungkannya dan/atau menata ulang
serta mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan ataupun
menemukan suatu penyelesaian dari suatu keadaan yang sulit dipecahkan.
Thomas dan Thorne (2005) menyatakan bahwa “Higher Order Thinking is thinking on higher level that memorizing facts
or telling something back to sameone exactly the way the it was told to you.
When a person memorizies and gives back the informatio without having to think
about it. That’s because it’s much like arobot; it does what it’s programmed to do, but it doesn’t think for
itself”. Kemampan berpikir tingkat
tinggi merupakan keterampilan yang dapat dilatihkan.
Dilihat
dari kinerja otak sebagai pusat berpikir, otak
terdiri dari belahan otak kiri dan otak kanan. Otak kiri banyak
mendukung kemampuan berpikir kritis, sedangkan otak kanan banyak mendukung
kemampuan berpikir kreatif. Antara
otak kiri dan otak kanan dihubungkan oleh korpus kolosum. Korpus kolosum kadang
membuka hubungan antara otak kiri dan otak kanan. Otak akan menjadi reaktor
apabila otak kiri dan kanan terhubung oleh korpus kolosum dalam keadaan
terbuka.
Kemampuan
berpikir kritis dan berpikir kreatif merupakan indikator kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Pengembangan berpikir kritis dan berpikir kreatif tidak akan
terlepas dari pengembangan kemampuan kinerja otak kiri dan otak kanan yang
membutuhkan latihan yang berlanjut yang dapat dilakukan melalui pembelajaran
semua bidang studi di sekolah. Berpikir kritis
merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan dalam
pembentukan sistem konseptual siswa. Menurut Ennis (1985: 54), berpikir kritis
adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang
difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan.
Berpikir yang ditampilkan dalam berpikir kritis sangat tertib dan
sistematis. Ketertiban berpikir dalam berpikir kritis diungkapkan MCC General
Education Iniatives, yaitu sebuah proses yang menekankan kepada sikap penentuan
keputusan yang sementara, memberdayakan logika yang berdasarkan inkuiri dan
pemecahan masalah yang menjadi dasar dalam menilai sebuah perbuatan atau
pengambilan keputusan. Wade (1995) mengidentifikasi delapan karakteristik
berpikir kritis, yakni meliputi:
(1) Merumuskan pertanyaan,
(1) Merumuskan pertanyaan,
(2) Membatasi permasalahan,
(3) Menguji data-data,
(4) Menganalisis berbagai informasi,
(5) Menghindari pertimbangan yang sangat emosional,
(6) Menghindari penyederhanaan berlebihan,
(7) Mempertimbangkan berbagai interpretasi,
dan
(8) Mentoleransi ambiguitas.
Penekanan kepada proses dan tahapan berpikir dilontarkan pula oleh
Scriven, berpikir kritis yaitu proses intelektual yang aktif dan penuh dengan
keterampilan dalam membuat pengertian atau konsep, mengaplikasikan,
menganalisis, membuat sintesis, dan mengevaluasi. Semua kegiatan tersebut
berdasarkan hasil observasi, pengalaman, pemikiran, pertimbangan, dan
komunikasi, yang akan membimbing dalam menentukan sikap dan tindakan (Walker,
2001: 1).
Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Angelo (1995: 6),
bahwa berpikir kritis harus memenuhi karakteristik kegiatan berpikir yang
meliputi : analisis, sintesis, pengenalan masalah dan pemecahannya, kesimpulan,
dan penilaian. Walaupun matematika berkaitan dengan teori logika, namun
kemampuan bepikir kritis tidak akan berkembang jika dalam pembelajaran
matematika siswa hanya dilatih untuk menghafal rumus, menemukan rumus tanpa
mengetahui kaitan satu dengan yang lainnya, atau menyelesaikan soal secara
mekanik, tanpa melibatkan keterampilan berpikir.
Kreativitas
adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan
apa saja yang pada dasarnya baru, dan sebelumnya tidak dikenali pembuatnya
(Harlock, 1978). Conny R Semiawan (1999) mengemukakan bahwa kreativitas adalah
suatu kondisi, sikap, atau keadaan yang sangat khusus sifatnya dan hampir tak
mungkin dirumuskan secara tuntas. Melalui pembelajaran matematika kemampuan
kretivitas siswa dapat dilatihkan, sebagai contoh siswa diberi permasalahan
sebagai berikut :
Seekor
kerbau beratnya 500 kg, berapa ekor kambing yang kamu perlukan agar jumlah semua berat badannya sama dengan berat
badan kerbau itu?
Melalui
permasalahan tersebut diperlukan kreativitas dan produktivitas berpikir siswa
untuk mengambil keputusan matematis yang reasonable, menentukan berat kambing terlebih dahulu,
kemudian memutuskan apakah berat setiap kambing sama, atau berbeda.
A. Aktivitas
Pembelajaran Matematika
Pembelajaran matematika menurut
pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengkonstruksi konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan
sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai
fasilitator. Menurut pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika
berorientasi pada: (1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi
atau akomodasi, (2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa
dihadapkan kepada apa, (3) informasi baru harus dikaitkan
dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang
mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya,
dan (4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang
mereka katakan atau tulis.
Konstruktivis ini dikritik oleh
Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu
memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut
konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Bleicher & Cooper, 1998). Ada dua
konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development
(ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah
di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat
yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan
kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan
dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding
merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan
masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan,
menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan
tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Selain
diperolehnya pengetahuan matematika, tujuan pembelajaran matematika adalah
melatih kemampuan siswa untuk berpikir. Edward De Bono, memberikan secara
prinsip, teknik ini mendorong siswa untuk berpikir sesuai dengan tahapan
berpikir siswa. Enam topi berpikir adalah topi berwarna Putih, Kuning, Hitam,
Merah, Hijau dan Biru. Masing-masing tahapan berpikir adalah sebagai berikut:
1. Neutrality
(white) - considering purely what information is available, what are the facts?
2. Feeling (Red) -
instinctive gut reaction or statements of emotional feeling (but not any
justification)
3. Negative
judgement (Black) - logic applied to identifying flaws or barriers, seeking
mismatch
4. Positive
Judgement (Yellow) - logic applied to identifying benefits, seeking harmony
5. Creative
thinking (Green) - statements of provocation and investigation, seeing where a
thought goes
6. Process control
(Blue) - thinking about thinking
Karena
siswa akan menjalani suatu proses yang akan membangun pengetahuannya dengan
bantuan fasilitas dari guru serta meningkatkan kemampuan berpikir sebagai hasil
belajar, mereka harus berperan aktif dalam kegiatan belajar, atau dengan kata lain
keterlibatannya dalam proses belajar
haruslah nampak. Diilhami oleh enam topi berpikir Edward de Bono ada beberapa aktivitas strategi yang ditempuh
siswa untuk mencapai keberhasilan dalam
belajar, dengan tujuan utama adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Keterlibatan siswa dalam proses belajar ini antara lain adalah :1) menggali
informasi yang dibutuhkan; 2) mengajukan dugaan; 3) melakukan inkuiri; 4) membuat konjektur
;5) mencari alternatif ;6) menarik kesimpulan
Hasil
observasi menunjukkan bahwa siswa kelas 2 SD Percobaan 2 Kotabaru (dengan
kemampuan perkalian yang dimiliki adalah perkalian dengan hasil tertinggi 100)
diberi tugas memecahkan masalah yang sama sebagai berikut:
Bu Edi akan mengadakan
perayaan sunatan putranya. Untuk keperluan perayaan Bu Edi membutuhkan 10 ekor
ayam untuk dibagikan tetangga dan 2 ekor ayam untuk dimasak. Saat ke pasar, Bu
Edi membeli semua ayam yang dibutuhkan. Harga satu ekor ayam dua puluh lima ribu rupiah. Berapa uang yang
harus dibayar Bu Edi?
Enam tahapan aktivitas yang
ditunjukkan siswa menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Berikut
adalah Aktivitas yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan masalah tersebut :
1)
Menggali informasi
Masalah
yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga menuntut siswa untuk melakukan
investigasi konteks, sebab tidak semua informasi diberikan secara eksplisit.
Banyak keseluruhan ayam yang dibutuhkan tidak dinyatakan secara ekspilis,
bilangan yang diberikan cukup besar untuk anak SD kelas 2 yaitu 25.000, maka diperlukan kreativitas dan produktivitas
berpikir siswa untuk mengambil keputusan matematis yang reasonable misalnya
yang dilakukan anak adalah memandang dua puluh lima ribu dengan hanya memandang
dua lima pada saat mengoperasikan bilangan tersebut. Anak harus melakukan investigasi dalam melakukan
pengandaian yang masuk akal, dan dapat dipertahankan nilai logis-matematisnya
maupun nilai realitas-kontekstualnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar