Jumat, 01 Juni 2012

Upatya Mencapai kemampuan Tinggi Dalam Pembelajaran

UPAYA UNTUK MENCAPAI KEMAMPUAN TINGKAT TINGGI DAN PEMBINAAN MORAL SISWA DALAM PEMBELAJAR

I. PENDAHULUAN
A.Penilaian
Penilaian adalah upaya atau tindakan untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai atau tidak. Dengan kata lain, penilaian berfungsi sebagai alat untuk mengtahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Salah satu prinsip dasar yang harus senantiasa diperhatikan dan dipegangi dalam rangka evaluasi hasil belajar adalah prinsip kebulatan, dengan prinsip evaluator dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar dituntut untuk mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi pemahamannya terhadap materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan (aspek kognitif), maupun dari segi penghayatan (aspek afektif), dan pengamalannya (aspek psikomotor).
Ketiga aspek atau ranah kejiwaan itu erat sekali dan bahkan tidak mungkin dapat dilepaskan dari kegiatan atau proses evaluasi hasil belajar. Benjamin S. Bloom dan kawan-kawannya itu berpendapat bahwa pengelompokkan tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu:
a)    Ranah proses berfikir (cognitive domain)
b)    Ranah nilai atau sikap (affective domain)
c)    Ranah keterampilan (psychomotor domain)
Dalam konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga domain atau ranah itulah yang harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar. Sasaran kegiatan evaluasi hasil belajar adalah:
1)    Apakah peserta didik sudah dapat memahami semua bahan atau materi pelajaran yang telah diberikan pada mereka?
2)    Apakah peserta didik sudah dapat menghayatinya?
3)    Apakah materi pelajaran yang telah diberikan itu sudah dapat diamalkan secara kongkret dalam praktek atau dalam kehidupannya sehari-hari?
Ketiga ranah tersebut menjadi obyek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru disekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran..
Beberapa aspek kognitif tingkat rendah, seperti pengetahuan, pemahaman dan sedikit penerapan. Sedangkan tingkat analisis, sintesis dan evaluasi . Apabila semua tingkat kognitif diterapkan secara merata dan terus-menerus maka hasil pendidikan akan lebih baik.
Tabel  Kaitan antara kegiatan pembelajaran dengan domain tingkatan aspek kognitif
No
Tingkatan
Deskripsi
1
Pengetahuan
Arti: Pengetahuan terhadap fakta, konsep, definisi, nama, peristiwa, tahun, daftar, teori, prosedur,dll.
Contoh kegiatan belajar:
  • Mengemukakan arti
  • Menentukan lokasi
  • Mendriskripsikan sesuatu
  • Menceritakan apa yang terjadi
  • Menguraikan apa yang terjadi
2
Pemahaman
Arti:pengertian terhadap hubungan antar-faktor, antar konsep, dan antar data hubungan sebab akibat penarikan kesimpulan
Contoh kegiatan belajar:
¨    Mengungkapakan gagasan dan pendapat dengan kata-kata sendiri
¨    Membedakan atau membandingkan
¨    Mengintepretasi data
¨    Mendriskripsikan dengan kata-kata sendiri
¨    Menjelaskan gagasan pokok
¨    Menceritakan kembali dengan kata-kata sendiri

3
Aplikasi
Arti: Menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah atau menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari
Contoh kegiatan:
  • Menghitung kebutuhan
  • Melakukan percobaan
  • Membuat peta
  • Membuat model
  • Merancang strategi
4
Analisis
Artinya: menentukan bagian-bagian dari suatu masalah, penyelesaian, atau gagasan dan menunjukkan hubungan antar bagian tersebut
Contoh kegiatan belajar:
  • Mengidentifikasi faktor penyebab
  • Merumuskan masalah
  • Mengajukan pertanyaan untuk mencari informasi
  • Membuat grafik
  • Mengkaji ulang
5
Sintesis
Artinya: menggabungkan berbagai informasi menjadi satu kesimpulan/konsepatau meramu/merangkai berbagai gagasan menjadi suatu hal yang baru
Contoh kegiatan belajar:
v   Membuat desain
v   Menemukan solusi masalah
v   Menciptakan produksi baru,dst.
6
Evaluasi
Arti: mempertimbangkan dan menilai benar-salah, baik-buruk, bermanfaat-tidak bermanfaat
Contoh kegiatan belajar:
Mempertahankan pendapat
Membahas suatu kasus
Memilih solusi yang lebih baik
Menulis laporan,dst.

B.Tahapan Pembelajaran
Tahapan pembelajaran yang sesuai dengan pemikiran siswa akan memudahkan guru untuk mendorong siswa berpikir tingkat tinggi. Enam tahapan aktivitas yang harus dilalui siswa agar dapat mengembangkan berpikir tingkat tinggi siswa adalah : 1) menggali informasi yang dibutuhkan; 2) mengajukan dugaan;  3) melakukan inkuiri; 4) membuat konjektur ;5) mencari alternatif ;6) menarik kesimpulan
Pada umumnya pembelajaran di sekolah masih terfokus pada guru, dan belum berpusat pada siswa. Pembelajaran di sekolah lebih bersifat menghafal atau pengetahuan faktual, hal ini menjadikan pembelajaran tidak searah dengan tujuan pendidikan Nasional. Salah satu tujuan pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa berpikir kritis, berpikir logis, sistematis, bersifat objektif, jujur dan disiplin dalam memandang dan menyelesaikan masalah yang berguna untuk kehidupan dalam masyarakat termasuk dunia kerja. Mata pelajaran hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan, untuk dapat melatih siswa memiliki keterampilan berpikir.
Salah satu keterampilan berpikir adalah berpikir tingkat tinggi (higher order thingking). Kemampuan berpikir tingkat tinggi  merupakan suatu kemampuan berpikir yang tidak hanya membutuhkan kemampuan mengingat saja, namun membutuhkan kemampuan lain yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir kreatif dan kritis. Masalah selanjutnya adalah bagaimana mengajarkan keterampilan berpikir secara eksplisit dan memadukannya dengan materi pembelajaran khususnya mata pelajaran matematika yang dapat membantu para siswa untuk mengembangkan kemapuan berpikirnya. Di lain pihak objek matematika  yang abstrak menjadikan matematika dianggap sulit oleh siswa, khususnya bagi tingkat SD yang umumnya masih berada pada tahapan berpikir konkrit akan menghambat kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Makalah ini mencoba menjabarkan aktivitas dalam pembelajaran matematika di SD yang dapat mendayagunakan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
1.Tahap Berpikir Siswa SD
Untuk mengajarkan konsep matematika pada anak SD, pengajar harus mengetahui cara berpikir anak. Menurut Piaget (1972), tahapan perkembangan kognitif anak SD berapa pada tahap praoperasional hingga operasional konkrit. Piaget menggunakan istilah operasional konkrit untuk menggambarkan kemampuan berpikir pada tahap ini disebut “dapat berpikir” (Woolfolk, A. E, 1995:36). Karateristik berpikir anak pada tahap periode berpikir konkrit ini, antara lain :kombinivitas atau klasifikasi, reversibilitas, asosiavitas, identitas, korespondensi satu-satu antar objek-objek dari dua kelas, dan kesadaran adanya prinsip-prinsip konservasi
Dengan kemampuan melakukan konservasi, kombinativitas dan asosiativitas, anak sudah mampu mengembangkan dan berfikir sangat logis. Sistem berpikir ini, bagaimanapun masih terikat pada realitas atau situasi konkrit. Logika anak masih didasarkan pada situasi konkrit yang dapat diorganisir, diklasifikasikan atau dimanipulasi. Anak belum dapat berpikir hipotesis dan menyelesesaikan masalah-masalah abstrak yang pemecahannya berkoordinasi dengan banyak faktor.
Kemampuan kognitif berkaitan dengan kemampuan berpikir yang mencakup kemampuan intelektual, mulai dari proses mengenal dilanjutkan dengan proses mengingat (menghafal) kemudian memahami dan memproses informasi apa yang telah diperoleh. Informasi yang diterima pada saat belajar, akan disimpan dalam ranah kognitif, sehingga akan menghasilkan pengetahuan dan keterampilan.
            Bruner menyatakan bahwa belajar akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antar konsep-konsep dan struktur.
            Kemampuan kognitif seorang anak berkembang sesuai dengan tahapan usianya, dimana dalam perkembangannya, menurut Piaget, dipengaruhi oleh tiga faktor (Herman Hudoyo, 1988) yaitu :kematangan, trasmisi sosial dan keseimbangan.
2.Berpikir Tingkat Tinggi
Secara khusus, Tran Vui (2001:5) mendefinisikan kemampuan berpikir tingkat tinggi sebagai berikut: “Higher order thinking occurs when a person takes new information and information stored in memory and interrelates and/or rearranges and extends this information to achieve a purpose or find possible answers in perplexing situations”. Dengan demikian, kemampuan berpikir tingkat tinggi akan terjadi ketika seseorang mengaitkan informasi baru dengan informasi yang sudah tersimpan di dalam ingatannya dan menghubung-hubungkannya dan/atau menata ulang serta mengembangkan informasi tersebut untuk mencapai suatu tujuan ataupun menemukan suatu penyelesaian dari suatu keadaan yang sulit dipecahkan.
Thomas dan Thorne (2005) menyatakan bahwa “Higher Order Thinking is thinking on higher level that memorizing facts or telling something back to sameone exactly the way the it was told to you. When a person memorizies and gives back the informatio without having to think about it. That’s because it’s much like arobot; it does what it’s  programmed to do, but it doesn’t think for itself”.  Kemampan berpikir tingkat tinggi merupakan keterampilan yang dapat dilatihkan.
Dilihat dari kinerja otak sebagai pusat berpikir, otak  terdiri dari belahan otak kiri dan otak kanan. Otak kiri banyak mendukung kemampuan berpikir kritis, sedangkan otak kanan banyak mendukung kemampuan berpikir kreatif. Antara otak kiri dan otak kanan dihubungkan oleh korpus kolosum. Korpus kolosum kadang membuka hubungan antara otak kiri dan otak kanan. Otak akan menjadi reaktor apabila otak kiri dan kanan terhubung oleh korpus kolosum dalam keadaan terbuka.
Kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif merupakan indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi. Pengembangan berpikir kritis dan berpikir kreatif tidak akan terlepas dari pengembangan kemampuan kinerja otak kiri dan otak kanan yang membutuhkan latihan yang berlanjut yang dapat dilakukan melalui pembelajaran semua bidang studi di sekolah. Berpikir kritis merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan dalam pembentukan sistem konseptual siswa. Menurut Ennis (1985: 54), berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan.
Berpikir yang ditampilkan dalam berpikir kritis sangat tertib dan sistematis. Ketertiban berpikir dalam berpikir kritis diungkapkan MCC General Education Iniatives, yaitu sebuah proses yang menekankan kepada sikap penentuan keputusan yang sementara, memberdayakan logika yang berdasarkan inkuiri dan pemecahan masalah yang menjadi dasar dalam menilai sebuah perbuatan atau pengambilan keputusan. Wade (1995) mengidentifikasi delapan karakteristik berpikir kritis, yakni meliputi:
(1) Merumuskan pertanyaan,
(2) Membatasi permasalahan,
(3) Menguji data-data,
(4) Menganalisis berbagai informasi,
(5) Menghindari pertimbangan yang sangat emosional,
(6) Menghindari penyederhanaan berlebihan,
(7) Mempertimbangkan berbagai interpretasi, dan
(8) Mentoleransi ambiguitas.
Penekanan kepada proses dan tahapan berpikir dilontarkan pula oleh Scriven, berpikir kritis yaitu proses intelektual yang aktif dan penuh dengan keterampilan dalam membuat pengertian atau konsep, mengaplikasikan, menganalisis, membuat sintesis, dan mengevaluasi. Semua kegiatan tersebut berdasarkan hasil observasi, pengalaman, pemikiran, pertimbangan, dan komunikasi, yang akan membimbing dalam menentukan sikap dan tindakan (Walker, 2001: 1).
Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Angelo (1995: 6), bahwa berpikir kritis harus memenuhi karakteristik kegiatan berpikir yang meliputi : analisis, sintesis, pengenalan masalah dan pemecahannya, kesimpulan, dan penilaian. Walaupun matematika berkaitan dengan teori logika, namun kemampuan bepikir kritis tidak akan berkembang jika dalam pembelajaran matematika siswa hanya dilatih untuk menghafal rumus, menemukan rumus tanpa mengetahui kaitan satu dengan yang lainnya, atau menyelesaikan soal secara mekanik, tanpa melibatkan keterampilan berpikir.
Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru, dan sebelumnya tidak dikenali pembuatnya (Harlock, 1978). Conny R Semiawan (1999) mengemukakan bahwa kreativitas adalah suatu kondisi, sikap, atau keadaan yang sangat khusus sifatnya dan hampir tak mungkin dirumuskan secara tuntas. Melalui pembelajaran matematika kemampuan kretivitas siswa dapat dilatihkan, sebagai contoh siswa diberi permasalahan sebagai berikut :
 Seekor kerbau beratnya 500 kg, berapa ekor kambing yang kamu perlukan agar jumlah  semua berat badannya sama dengan berat badan  kerbau itu?
Melalui permasalahan tersebut diperlukan kreativitas dan produktivitas berpikir siswa untuk mengambil keputusan matematis yang reasonable, menentukan berat kambing terlebih dahulu, kemudian memutuskan apakah berat setiap kambing sama, atau berbeda.
A.    Aktivitas Pembelajaran Matematika
Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Menurut pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada: (1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi, (2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa, (3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan (4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Bleicher & Cooper, 1998). Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Selain diperolehnya pengetahuan matematika, tujuan pembelajaran matematika adalah melatih kemampuan siswa untuk berpikir. Edward De Bono, memberikan secara prinsip, teknik ini mendorong siswa untuk berpikir sesuai dengan tahapan berpikir siswa. Enam topi berpikir adalah topi berwarna Putih, Kuning, Hitam, Merah, Hijau dan Biru. Masing-masing tahapan berpikir adalah sebagai berikut:
1.       Neutrality (white) - considering purely what information is available, what are the facts?
2.       Feeling (Red) - instinctive gut reaction or statements of emotional feeling (but not any justification)
3.       Negative judgement (Black) - logic applied to identifying flaws or barriers, seeking mismatch
4.       Positive Judgement (Yellow) - logic applied to identifying benefits, seeking harmony
5.       Creative thinking (Green) - statements of provocation and investigation, seeing where a thought goes
6.       Process control (Blue) - thinking about thinking

Karena siswa akan menjalani suatu proses yang akan membangun pengetahuannya dengan bantuan fasilitas dari guru serta meningkatkan kemampuan berpikir sebagai hasil belajar, mereka harus berperan aktif dalam kegiatan belajar, atau dengan kata lain keterlibatannya dalam proses  belajar haruslah nampak. Diilhami oleh enam topi berpikir Edward de Bono ada  beberapa aktivitas strategi yang ditempuh siswa untuk mencapai keberhasilan  dalam belajar, dengan tujuan utama adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi. Keterlibatan siswa dalam proses belajar ini antara lain adalah :1) menggali informasi yang dibutuhkan; 2) mengajukan dugaan;  3) melakukan inkuiri; 4) membuat konjektur ;5) mencari alternatif ;6) menarik kesimpulan
Hasil observasi menunjukkan bahwa siswa kelas 2 SD Percobaan 2 Kotabaru (dengan kemampuan perkalian yang dimiliki adalah perkalian dengan hasil tertinggi 100) diberi tugas memecahkan masalah yang sama sebagai berikut:
Bu Edi akan mengadakan perayaan sunatan putranya. Untuk keperluan perayaan Bu Edi membutuhkan 10 ekor ayam untuk dibagikan tetangga dan 2 ekor ayam untuk dimasak. Saat ke pasar, Bu Edi membeli semua ayam yang dibutuhkan. Harga satu ekor ayam  dua puluh lima ribu rupiah. Berapa uang yang harus dibayar Bu Edi?
            Enam tahapan aktivitas yang ditunjukkan siswa menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Berikut adalah Aktivitas yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan masalah tersebut :
1)  Menggali informasi
Masalah yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga menuntut siswa untuk melakukan investigasi konteks, sebab tidak semua informasi diberikan secara eksplisit. Banyak keseluruhan ayam yang dibutuhkan tidak dinyatakan secara ekspilis, bilangan yang diberikan cukup besar untuk anak SD kelas 2 yaitu 25.000,  maka diperlukan kreativitas dan produktivitas berpikir siswa untuk mengambil keputusan matematis yang reasonable misalnya yang dilakukan anak adalah memandang dua puluh lima ribu dengan hanya memandang dua lima pada saat mengoperasikan bilangan tersebut. Anak harus melakukan investigasi dalam melakukan pengandaian yang masuk akal, dan dapat dipertahankan nilai logis-matematisnya maupun nilai realitas-kontekstualnya.

7 Pilar Prinsip Belajar


7 PILAR PRINSIP BELAJAR
 YANG MENGOPTIMALKAN HASIL BELAJAR

1.        Memiliki arah yang jelas dan terfokus
Setelah menyelesaikan perencanaan, memilih strategi pembelajaran, dan mengumpulkan serta menyusun bahan pelajaran. Kita dapat mengambil tindakan tertentu untuk mempengaruhi pemeliharaan kelas dalam mencapai tujuan pembelajaran dapat menggunakan beberapa strategi pada titik-titik tertentu dalam pelajaran tersebut untuk mengelola kelompok secara efektif,menjaga dan mengontrol ketertiban, dan memenuhi keperluan administrative dan akademis.Pelajaran Awal Pembelajaran awal yang sangat sukses dapat menambah pengalaman belajar yang bermakna bagisiswa. Pembelajaran awal harus dirancang untuk menarik perhatian siswa dan agar mereka focus pada tujuan pembelajaran. Tindakan yang diambil pada awal pelajaran yaitu untuk membangunsuasana dimana siswa mempunyai ³motivasi untuk belajar´.Sebelum memulai isi pokok pelajaran, guru mengabsen untuk mendapat perhatian. Pada awal pelajaran, guru memberikan ulangan harian, mnyediakan perlengkapan, menjelaskan tujuan pembelajaran, mendistribusikan dan mengumpulkan materi, dan memberikan arah yang jelas danterfokus.
Mendapatkan perhatian siswa harus memahami bahwa mereka diharapkan untuk memberikan perhatian penuh pada setiap pelajaran. Pelajaran tidak boleh dimulai sampai mendapatkan perhatian penuh mereka. Dan untuk mendapatkan perhatian tersebut harus ada sinyal yangmember tahu jika kita siap untuk memulai pelajaran. Jenis sinyal tersebut bervariasi sesuaidengan pilihan guru.Ada sejumlah cara untuk mendapatkan perhatian pada awal pelajaran. Pendekatan-pendekatanini dirancang untuk menjamin perhatian siswa dan mengurangi gangguan yang mungkin terjadidalam pelajaran-pelajaran awal (Jones & Jones, 2007) :
1.      Memilih isyarat untuk mendapat perhatian dari siswa. Siswa sering memerlukan suatusinyal yang konsisten untuk memfokuskan perhatian mereka. Isyarat ini mungkintermasuk frasa khusus, atau dengan menggunakan isyarat nonverbal seperti menutup pintu di awal kelas.
2.      Jangan mulai sampai semua orang memperhatikan. Sangat penting untuk tidak memulai pelajaran sampai semua siswa memperhatikan guru.
3.      Menghilangkan gangguan.
2.  Mengembangkan 3 potensi manusia secara utuh dan keseimbangan.
Jelaslah bahwa manusia sebagai mahluk social memiliki fungsi biologis, proteksi, sosialisasi/pendidikan. Supportive dan ekspresive. Dari fungsi-fungsi ini diharapkan bukan saja menjadi landasan, materi kegiatan dan bahkan pendekatan/ proses-proses dalam merancang, mengoperasikan, mengevaluasi program pendidikan non formal.
Hakekat manusia adalah sebagai berikut :
1. Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
2. Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
3. yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
4. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
5. Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati
6. Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
7. Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
8. Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
Perkembangan merupakan suatu proses sosialisasi dalam bentuk irnitasi yang berlangsung dengan adaptasi (penyesuaian) dan seleksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia adalah keturunan, lingkungan, dan manusia itu sendiri.
Hukum tempo perkembangan menyatakan bahwa tiap-tiap anak memiliki tempo perkembangan yang berbeda. Anak juga memiliki masa peka, yaitu suatu masa di mana suatu organ atau unsur psikologis anak mengalami perkembangan yang sebaik-baiknya.
Bagi seorang pendidik, mengetahui perkembangan anak diperlukan dalam membimbing anak sesuai dengan perkembangannya.
Ciri-ciri keberhasilan pendidikan pada seseorang dapat terlihat pada :
1. Mengerti benar akan tugasnya dengan baik dan didorong oleh rasa tanggung jawab yang kuat terhadap dirinya serta terhadap Tuhan.
2. Mampu mengadakan hubungan sosial dengan bekerja sama dengan orang lain.
3. Mampu menghadapi segala perubahan dunia karena salah satu ciri kehidupan ialah perubahan.
4. Sadar akan dirinya dan harga dirinya sehingga tidak mudah memperjualbelikan dirinya dan kreatif.
5. Peka terhadap nilai-nilai yang sifatnya rohaniah.
Pribadi manusia tidak dapat dirumuskan sebagai suatu keseluruhan tanpa sekaligus meletakkan hubungannya dengan lingkungan. Jadi kepribadian adalah suatu kesatuan psikofisik termasuk bakat, kecakapan, emosi, keyakinan, kebiasaan, menyatakan dirinya dengan khas di dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Sedangkan peranan pendidik/tutor dalam pengembangan kepribadian adalah menjadi jembatan penghubung atau media untuk mengaktualisasikan potensi psikofisik individu dalam menyelesaikan diri dengan lingkungannya. Sifat hakekat manusia menjadi kajian antropologi, yang hasilnya sangat diperlukan dalam upaya menumbuh kembangkan potensi, manusia melalui penyelenggaraan pendidikan.  Afektif didominasi pengembangan domain kognitif, demikian juga halnya jika domain afektif terabaikan.
3.Bersiap menjadi pemenang
4. Memiliki impian yang selalu menggelora
Punya mimpi dan cita - cita besar di jaman sekarang ini bukan hal yang mudah. Saat kebanyakan orang memfokuskan pada hal sehari - hari, memupuskan dan berkompromi dengan mimpi - mimpi mereka perlahan atas nama realitas, punya cita - cita dan mimpi yang besar jadi sebuah hal yang sulit dilakukan. Terlebih lagi saat berusaha mengejar dan menjadikannya sebagai sebuah kenyataan, percaya deh itu jauh lebih sulit lagi. Karenanya amat sangat menyenangkan bisa bertemu dan berbicara dengan orang - orang yang bukan hanya memiliki impian yang besar, tapi juga berusaha mencapainya.
Tadi malam, saya ngobrol dengan salah seorang sahabat baik saya. Kami sedang merunut balik perjalanan yang sudah kami lalui. Meskipun terasa singkat, namun ternyata sudah ada begitu banyak hal yang kami lalui, dan ada begitu banyak pelajaran berharga yang kami kumpulkan. Tapi satu hal yang kami temukan sangat menarik dan membuat kami tersenyum - senyum sendiri adalah, ternyata apa yang kami capai hingga sekarang ini merupakan apa yang kami katakan sebagai keinginan kami di masa lampau. Semuanya hanya berawal dari "saya ingin begini", "saya ingin memiliki ini", "saya ingin bisa begini", "saya ingin melakukan ini", dan lainnya.
Kami berpikir, bagaimana seandainya waktu itu masing - masing dari kami mengatakan pada diri sendiri bahwa semua yang kami inginkan itu tidak mungkin tercapai, atau bahwa semua itu tidak penting untuk dipikirkan, bahwa semua itu hanya keinginan semata, dan tidak berusaha untuk mencobanya sama sekali. Bagaimana kalau kami mengatakan pada diri sendiri "hal - hal yang kecil lainnya saja belum terurus, bagaimana mau mencoba yang lain?", hingga akhirnya menghentikan kami mencoba segala kemungkinan dan berhenti memiliki keinginan yang lainnya?
Orang - orang berkata bahwa manusia adalah makhluk yang tanpa batas. Seberapa jauh dan seberapa besar yang kita inginkan, sejauh dan sebesar itu juga kita akan menjadi. Tapi menurutku bukan hanya tentang seberapa besar dan seberapa jauh yang kita inginkan, melainkan seberapa besar dan seberapa jauh yang BERANI kita inginkan. Tanpa keberanian untuk bermimpi, tidak akan ada mimpi itu. Tanpa adanya mimpi itu, bagaimana mungkin mewujudkannya?
Memiliki impian itu murah meriah. Tidak perlu biaya apapun. Dan meskipun a dreamer is just a step away from a looser itu juga berarti a step away from a winner. Karenanya keberanian untuk memiliki impian dan mengejarnya, jangan pernah diterlantarkan. Hampir semua hal besar berawal dari keinginan kecil, bukan? Dan meskipun apa yang kami capai hingga sekarang ini adalah sesuatu yang kecil di mata dunia, tapi mungkin hidup kami tidak akan pernah lebih puas dari sekarang, saat kami tahu kami bisa mencapai dan melampaui apa yang kami kira tidak bisa.
Saat kami akan beranjak bangun dari tempat duduk, tiba - tiba anak sahabat saya yang berusia 4 tahun berkata pada mamanya itu dengan mata berbinar - binar, "Mama, nanti kalo aku udah gede, aku mau bikin mobil yang bisa terbang!" Aku dan sahabatku saling memandang dan tersenyum penuh makna, lalu dia bertanya pada anaknya, "Bagaimana caranya, sayang?" Anaknya pun menjawab, "Nanti kan aku belajar biar pinter terus bikin mobilnya pake pesawat!" Sahabat saya pun tersenyum dan seperti biasa, berkata, "Pinter. Kamu pasti bisa bikin mobil yang bisa terbang, sayang."
Anaknya tertawa senang dan menggandeng lenganku dan lengan sahabatku. Keluar dari cafe tersebut, anak itu lanjut bertanya pada kami, "Kalau mama sama tante, kalo udah gede nanti mau bikin apa?" Aku dan sahabatku tertawa, lalu aku menjawabnya, "Hmm.....nanti ya, kasih tante waktu beberapa hari untuk berpikir. Nanti kita ketemu lagi, makan ice cream lagi, trus tante ceritain deh tante mau bikin apa. Ok?"
5.        Selalu berusaha membangkitkan kemalasan dan ketertinggalan
Kemalasan ini termasuk kata yang paling tua dipakai manusia. Kita akrab dengan kata ini dari kecil sampai tua. Nah, kalau melihat praktek hidup dan teori-teori yang ada, bentuk dan sifat kemalasan itu bisa dijelaskan seperti di bawah ini:
Pertama, ada kemalasan yang dipicu oleh perubahan faktor eksternal. Meminjam istilah yang dipakai Philip G. Zimbardo, Scott, Foresman (1979) dalam bukunya Psychology & Life, ini bisa disebut kemalasan yang bentuknya “state” (keadaan). Seorang pengusaha akan mendadak malas berusaha ketika uang hasil usahanya selama raib ditipu orang. Seorang pelajar / mahasiswa akan mendadak malas ketika dosen / guru kesayangannya tidak lagi diberi tugas mengajar materi kesayangan. Banyak orang yang tiba-tiba malas saat isi dompetnya kosong. Umumnya, kemalasan yang bentuknya “state” ini bersifat sementara (temporer).
Kedua, ada kemalasan yang timbul akibat irama mood. Mood adalah perubahan intensitas perasaan. Ada yang menyebutnya juga dengan istilah siklus kehidupan (life cycle). Kemalasan semacam ini umum dialami oleh hampir semua manusia. Orang yang paling giat pun terkadang menghadapi saat-saat yang membuatnya merasa malas. Yang membedakan orang di sini bukan soal pernah dan tidak pernahnya, tetapi adalah apa yang dilakukan saat detik-detik buruk itu tiba. Ada yang hanya melamun, jalan-jalan ke sana kemari tanpa tujuan, ada yang mengisi membaca, menonton dan lain-lain.
Sekedar sebagai sumbang saran, baiknya kita perlu mendesain kegiatan khusus untuk menghadapi detik-detik semacam ini. Kalau bisa, kegiatan itu kita desain se-suportif mungkin dengan kegiatan utama. Kita bisa meniru kegiatan yang dilakukan seorang dirut media cetak yang saya kenal. Biasanya, bapak ini keliling ke meja-meja karyawan sekedar untuk bertanya sana-sini. Begitu sudah mendapatkan gambaran atau inspirasi baru, dia kembali lagi ke tugas utamanya. Inipun bisa kita tiru meski kita bukan dirut.
Ketiga, ada kemalasan yang memang itu kita sendiri yang menciptakan. Kemalasan semacam ini bisa disebut “trait”, bawaan. Bawaan di sini maksudnya bukan bawaan dari lahir atau semacam yang sering kita sebut “takdir seseorang”. Bawaan di sini maksudnya kita yang menciptakan, kita yang memilih, kita sendiri yang menjadi penyebabnya. Kemalasan seperti ini sifatnya permanen, atau abadi. Selama kita tidak mengubahnya, selama itu pula kemalasan itu bertengger di dalam diri kita. Ada yang bilang, kemalasan bawaan ini tidak ada obatnya. Siapapun tidak dibekali mukjizat untuk menyembuhkan penyakit yang bernama kemalasan bawaan ini, termasuk para nabi.
Meski dalam teorinya kemalasan itu bisa kita kotak-kotakkan sedemikian rupa, tetapi dalam prakteknya kerapkali kotak-kotak itu tidak secara jelas dapat dibedakan. Bahkan ketika kita ingin mengorek sebab-sebab kemalasan seseorang dari hulu ke hilir, ini tidak akan ada ujung pangkalnya (saking banyaknya dan saking beragamnya).
Satu-satunya jalan adalah memotong mata rantainya. Caranya adalah dengan menjadikan diri sendiri sebagai pusat (locus of control). Alasannya sangat jelas. Meski memang ada sejumlah faktor eksternal yang membuat kita malas, tetapi kalau kita bertekad menolak menjadi pemalas, maka kemalasan itu sementara sifatnya. Tapi bila tidak, kemalasan yang dipicu apapun akan abadi atau minimalnya berlangsung terlalu lama, bahkan bisa menjadi label, ciri khas atau sifat.
APA YANG MEMBUAT KEMALASAN ITU ABADI? Menurut logika yang normal, tentu tidak ada orang yang ingin malas. Buktinya, tidak ada orang yang merasa bahagia dengan kemalasannya. Jika begitu, berarti kira-kira kemalasan itu muncul karena ada sesuatu. Apa sesuatu itu? Tentu ini banyak. Berdasarkan praktek dan teori, ada beberapa hal yang bisa kita jadikan petunjuk atau acuan. Ini antara lain:
Pertama, tidak memiliki sasaran hidup yang jelas. Sasaran ini bisa berbentuk: apa yang ingin kita lakukan, apa yang ingin kita raih, apa yang ingin kita miliki. Sasaran ini ada yang bersifat jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang. Ada yang disebut visi, tujuan (goal), atau juga target.
Kenapa sasaran itu terkait? Oh tentu. Kalau kita sudah tahu sasaran yang kita inginkan, maka logikanya kita akan terdorong untuk mencapainya. Kejelasan sasaran terkait dengan kekuatan motivasi dan tekad seseorang. Menurut Anthony Robbin, di dunia ini sebetulnya tidak ada orang yang malas. Orang menjadi malas karena tidak memiliki tujuan yang jelas.
Penjelasan lain mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki sasaran atau tujuan hidup yang benar-benar ingin diraih sangat berpotensi terkena apa yang disebut kemandekan batin. Batin yang mandek gampang dihinggapi berbagai penyakit dan kotoran, salah satunya adalah kemalasan. Jadi, kemalasan terkait dengan “developmental process”.
Kedua, filsafat hidup yang negatif. Ini misalnya saja: “Daripada sudah bekerja keras tetapi tidak kaya-kaya, mendingan kerja asal-asalan aja”, “Ngapain sekolah rajin, toh sudah banyak sarjana yang nganggur”, “Boro-boro cari rizki yang halal, yang haram aja susahnya minta ampun”, dan lain-lain dan seterusnya.
Kenapa itu semua disebut negatif? Secara arah (direction and orientation), kesimpulan demikian kerap menggeret kita pada pola hidup yang malas. Jadi, yang perlu kita waspadai adalah arahnya, bukan semata benar dan salahnya secara konten. Lebih baik kita berpikir perlu belajar yang lebih giat lagi supaya tidak menjadi sarjana yang nganggur. Lebih baik berpikir perlu bekerja lebih keras lagi dan lebih cerdas lagi supaya kaya. Meski ini tidak bisa memberikan jaminan dalam waktu yang sekaligus, tetapi arahnya positif, dinamikanya positif dan energinya positif. Kita perlu sadar bahwa terkadang ada banyak ucapan yang benar tetapi tidak bermanfaat (positif).
Ketiga, terlalu banyak dan terlalu lama membiarkan pikiran atau perasaan negatif. Semua orang pada dasarnya pernah memunculkan pikiran negatif terhadap diri sendiri, orang lain atau keadaan. Yang membedakan terkadang adalah kadarnya, frekuensinya dan kecepatannya dalam membersihkan diri. Kenapa pikiran dan perasaan berpengaruh? Ini sudah jelas dapat kita rasakan langsung.
Kalau kita membiarkan penilain negatif terhadap diri sendiri yang terlalu lama atau terlalu banyak, maka yang muncul adalah kesimpulan akumulatif yang negatif. Ini misalnya: saya tidak mampu, saya tidak bisa, saya selalu minder, saya ragu-ragu, saya malas-malasan, saya tidak bahagia dengan diri saya, dan seterusnya. Kesimpulan demikian memang tidak membuat kita mati, tetapi, seperti yang kita alami, kesimpulan demikian sangat menghalangi munculnya energi psoitif.
Karena itu, baik ajaran agama atau ilmu pengetahuan punya nasehat yang sama. Dalam keadaan apapun atau dalam posisi apapun kita dianjurkan untuk memilih pikiran dan mentalitas yang berorientasi syukur. Syukur artinya kemampuan seseorang dalam mengaoptimalkan penggunaan resource yang sudah ada untuk meraih prestasi dengan cara-cara positif. Berpikirlah untuk menggunakan potensi seoptimal mungkin. Berpikirlah untuk menggunakan fasilitas seoptimal mungkin.
Karena kita selalu rentan terkena pikiran negatif, baik itu kita ciptakan sendiri atau kiriman dari orang lain, maka idealnya, membersihkan pikiran dan perasaan itu perlu kita lakukan seperti kita mandi yang tidak pernah cukup sekali. Tidak cukup membaca buku sekali, tidak cukup mendengarkan nasehat inspiratif sekali, tidak cukup membaca artikel sekali dan tidak cukup memotivasi diri sekali. Itu kita butuhkan sepanjang hidup sejauh kita merasakan adanya kotoran yang mengganggu.
Keempat, tidak mau memilih yang positif. Untuk orang dewasa (baca: bukan anak-anak) ini adalah kunci. Gagal bercinta, gagal usaha, gagal berkarir, dan lain-lain, memang itu semua bisa memicu kemalasan. Tetapi, seperti yang sudah kita singgung, kemasalan di situ sifatnya hanya sementara. Yang kerap membuatnya abadi adalah penolakan untuk segera bangkit. Jika kita menolak membangkitkan-diri, semua kemalasan sifatnya abadi. Jika kita tetap memilih menjadi pemalas, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa membuat kita menjadi tidak malas.
Kalau mau pakai pendapat Bandura, berbagai prilaku immoral dan kurang berarti itu (termasuk kemalasan), lebih terkait dengan mekanisme mental ketimbang dengan kesalahan sistem nilai yang dianut seseorang. Untuk orang dewasa, pasti semua sudah tahu kalau kemalasan itu bukan sesuatu yang positif. Meski sudah tahu semua tetapi pengetahuan ini tidak otomatis menggerakkan prilaku seseorang supaya tidak malas. Ini bukti bahwa kemalasan itu lebih terkait pada mekanisme mental atau mentalitas seseorang. Tindakan kita, kata Dietrich Bonhoeffer, lebih banyak digerakkan oleh kesadaran untuk bertanggung jawab. Ini juga pas untuk orang dewasa.
Kalau kita sadar tanggung jawab kita sebagai pelajar / mahasiswa, rasanya tidak mungkin kita bisa menjadi pelajar yang malas. Kalau kita sadar tanggung jawab kita sebagai karyawan, rasanya tidak mungkin kita bisa menjadi karyawan yang malas. Dan seterusnya dan seterusnya. Kesadaran inilah yang memunculkan motivasi dan komitmen intrinsik (inisiatif dan tekad dari dalam).
Kelima, kurang belajar menggunakan ledakan emosi. Marah, tidak puas, malu, takut, ingin dipuji, dan seterusnya itu adalah termasuk bentuk ledakan emosi. Ini bisa kita gunakan untuk mengusir kemalasan dan bisa pula kita gunakan untuk menambah kemalasan. Takut akan dimarahi orangtua kalau nilai kita jeblok dapat kita gunakan untuk memacu diri dalam belajar. Malu dikatakan orang nganggur bisa kita gunakan untuk memperbanyak aktivitas. Tidak puas atas nasib kita pada hari ini dapat kita gunakan untuk mendorong perubahan.
Jadi, meski ada ledakan emosi negatif dan positif tetapi penggunaannya diserahkan kepada kita. Kalau digunakan untuk hal-hal positif, jadinya positif. Tetapi kalau digunakan untuk hal-hal negatif, ya jadinya bertambah negatif. Untuk orang yang belum sanggup membangkitkan gairah dari dalam dirinya atau orang yang belum berhasil membangun pondasi personal yang kuat, tehnik ini lebih sering berhasilnya. Cuma memang durasinya sementara dan gampang luntur di samping juga bisa berpotensi menimbulkan penyimpangan (motivasi minus atau negatif). Karena itu tetap dibutuhkan transformasi ke dalam.
Membangun Pondasi Personal. Kenapa perlu membangun fondasi personal? Seperti yang sudah kita singgung, penyebab dan pemicu kemalasan itu kalau dicari banyak (tak terhitung). Apalagi jika yang kita cari itu adalah sebab eksternal di luar diri kita. Meski demikian, toh ujung-ujungnya yang akan menjadi kunci utama di sini adalah tetap diri kita. Inilah alasan kenapa kita perlu membangun fondasi itu.
Fondasi personal adalah seperangkat dasar-dasar hidup yang kita gunakan sebagai landasan dalam melangkah. Dengan fondasi yang kuat ini diharapkan hidup kita tidak mudah goyah atau ambruk oleh hal-hal yang tidak kita inginkan. Apa yang diperlukan untuk membangun pondasi personal ini?
Pertama, menjaga stabilitas. Kata orang, hidup ini seperti sepeda. Agar stabilitasnya terjaga, maka harus digerakkan, dijalankan atau dinaiki. Begitu sepeda itu berhenti, maka stabilitasnya hilang. Bagaimana menstabilkan hidup? Ini memang butuh sasaran dan program. Seperti yang sudah kita bahas, sasaran itu akan menggerakkan kita untuk mencapainya. Supaya keseimbangannya sempurna, sasaran itu kita susun seharmonis mungkin dengan keadaan diri kita.
Katakanlah jika anda seorang pelajar atau mahasiswa. Jika anda membuat sasaran yang tidak match dengan keberadaan anda sebagai pelajar atau mahasiswa, ini akan berpotensi menimbulkan kemalasan dalam belajar. Buatlah sasaran, target, program yang match dengan keberadaan dan keadaan anda saat ini.
Kedua, perlu melakukan alignment. Istilah ini kerap dipakai dalam manajemen bisnis. Pengertian dasarnya adalah upaya untuk meluruskan langkah agar tidak keluar dari track, rel, sasaran, target, tujuan, visi, misi dan seterusnya. Menjalankan usaha itu sama seperti menajalankan kapal. Angin kencang, ombak, badai atau cuaca buruk bisa membelokkan arah kapal lalu keluar dari track. Supaya kembali pada track harus ada “alignment”.
Begitu juga dengan hidup kita. Banyak peristiwa atau perlakukan dari luar yang berpotensi memicu kemalasan, seperti misalnya: gagal, menghadapi orang yang tidak ko-operatif, didholimi orang, dan lain-lain. Banyak juga kebutuhan, keinginan dan masalah yang terkadang menghimpit lalu membuat kita keluar dari track. Supaya itu semua tidak menjadi pemicu dan penyebab kemalasan yang abadi atau terlalu lama maka dibutuhkan alignment. Ini misalnya kita mengingat lagi sasaran kita, tujuan kita, target kita, program kita, dan seterusnya.
Ketiga, perlu memiliki personal-urgency. Urgency di sini desakan ke dalam atau semacam deadline yang kita buat sendiri untuk diri kita (personal-impose). Untuk membangkitkan diri atau mengusir kemalasan, baik itu temporer atau abadi, biasanya ini dibutuhkan. Kekurangan kita umumnya adalah terlalu lama memikirkan dan merasakan kemalasan, misalnya: kenapa saya malas, apa yang membuat saya malas, bagaimana tip-tipnya supaya tidak malas, dan lain-lain tetapi tidak membuat kita segera melaksanakan personal-impose.
Adapun tehniknya mungkin perlu memberi batas waktu atau target pencapaian yang spesifik. Ini bisa kita mulai dari yang paling kecil misalnya bangun pagi. Banyak orang yang tidak bisa bangun pagi karena tidak memiliki deadline jam berapa harus bangun dan apa yang akan dilakukan setelah bangun pagi. Karena itu, para ahli menyarankan timing dalam membuat sasaran, entah itu jangka pendek, menengah atau jangka panjang.
Keempat, perlu pembelajaran yang terus menerus (continuous learning). Seperti yang sudah sering kita bahas, pembelajaran itu artinya memperbaiki diri dari apa yang kita lakukan. Untuk bisa belajar ini syaratnya hidup kita harus dinamis. Syarat untuk dinamis harus ada sasaran yang betul-betul kita perjuangkan. Rasanya sulit untuk memperbaiki diri tatkala hidup kita statis atau diam. Batin yang dinamis melahirkan kemauan keras, sementara batin yang statis biasanya malah membuat kita keras kepala.
Kelima, perlu membuka diri terhadap berbagai pencerahan atau sesuatu yang bisa meng-inspirasi, memotivasi, membersihkan kotoran batin dan menghidupkan pikiran. Ini bentuknya banyak, misalnya saja: membaca buku atau artikel, mendengarkan ceramah atau cerita orang, melihat kejadian, berwisata yang mendidik, dan lain-lain. Intinya, seperti kesimpulan Krishnamurti saat ditanya wartawan, kemalasan itu muncul when the mind is a sleep! Semoga bermanfaat.
6.        Berusaha yang terbaik
Pada dasarnya setiap manusia bisa menjadi yang terbaik dari dirinya apapun latar belakangnya, status sosial maupun ekonomi . Namun mengapa masih banyak manusia bahkan lebih dari lima puluh persen dari jumlah manusia di dunia yangtidak merasa demikian. Lalu dimana letak kesalahannya? Apakah semua itu sudah suratan takdir alias Nasib? Seandainya benar, apakah kita yakin kalau Tuhan menginginkan manusia yang notabene ciptaanNya yang paling sempurna ini menjadi sengsara dan merana. Tentu saja tidak. Hal ini bisa saya buktikan dengan kelebihan-kelebihan yang dianugerahi oleh Sang Pencipta kepada mahluk ciptaanNya yang disebut Manusia.
Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna diantara mahluk-mahluk ciptaan lainnya. Selain dikarunia dengan bentuk tubuh yang fungsional, susunan tulang dan otot yang dapat memungkinkan untuk melakukan gerakan yang berbeda-beda, manusia masih dikarunia sebuah otak yang super canggih yang dapat mengontrol denyut jantung kita sampai dengan 100.000 kali/hari dan mampu mengatur kinerjamemompa 25 000 liter darah melalui pembuluh darah yang panjangnya kalau dihubungkan dari ujung ke ujung panjangnya mencapai 100,000 km dan ini sama dengan panjang2 kali bumi apabila ditarik garis lurus mengitari garis khatulistiwa. Itupun hanya sebagian kecil dari kemampuan otak kita dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya uraikan. Sungguh luar biasa apa yang mampu dilakukan oleh otak kita yang beratnya hanya 1.5 kg. Semua itu pula diatur dengan sendirinya oleh otak tanpa harus dipantau oleh si pemilik otak. Sungguh menakjubkan! Sebelum anda melanjutkan membaca artikel ini saya ingin anda merenung sejenak untuk menyadari betapa kita memiliki potensi yang sangat luar biasa untuk kita dayagunakan untuk keberhasilan kita.
Jadi setelah menyadari keistimewaan diatas lalu apakah masih ada alasan bagi kita untuk menyalahkan Sang Pencipta apabila kita tidak dapat menjadi yang terbaik? Jadi apa yang menjadi penyebab bahwa manusia tidak bisa berprestasi? Ada beberapa faktor namun ada satu faktor yang sangat dominan dan hampir dialami oleh sebagian besar orang yaitu keyakinan,atau lebih spesifik-keyakinan akan kemampuan meraih sasarannya atau istilah lainnya Belief System. Keyakinan adalah sebuah kekuatan yang akan mendorong anda untuk melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan anda. Keyakinan bagaikan kompas atau peta bagi manusia untuk menuju sasarannya. Faktor terbesar untuk menjadi yang terbaik adalah bukan terletak pada kemampuan maupun ketrampilan yang dimiliki melainkan pada Keyakinan. Namun Keyakinan atau Belief System adalah dapat menjadi faktor penentu keberhasilan ataupun penentu kegagalan bagi manusia.
Mari kita lihat bagaimana keyakinan dapat sangat berpengaruh pada proses tercapai atau tidaknya sebuah prestasi. Bagaimana keyakinan itu tercipta? Keyakinan bisa tercipta dari pengalaman seseorang dan juga dari referensi atau contoh. Keyakinan berdasarkan pengalaman tercipta ketika anda melakukan suatu kegiatan, sedangkan keyakinan yang berdasarkan referensi atau contoh tercipta setelah anda melihat orang lain melakukannya. Misalnya anda melakukan suatu usaha ,apabila berhasil maka hasil tersebut akan menambah keyakinan dalam diri anda bahwa anda mampu, sebaliknya kalau gagal maka hasil tadi juga akan menambah keyakinan bahwa anda memang tidak mampu. Dan kalau yang diambil oleh anda sebagai kesimpulan terakhir adalah ketidakmampuan maka selamanya anda tidak mampu. Kesimpulan ini sangat berbahaya karena akan terprogram secara tak sadar di dalam otak sebagai sebuah keyakinan baru yang negatif.
Para Achiever atau orang yang berprestasi didunia memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap kemampuan merekadalam meraih prestasi puncak dalam karir maupun kehidupan.
Salah satu contohnya adalah Michael Dell, dia adalah salah seorang dari 10 orang terkaya didunia saat ini yang hanya berumur 39 tahun dari Amerika Serikat yang mana kekayaan pribadinya mencapai Rp 156 triliun (US$ 17 milyard), Dell adalah seorang pendiri dan CEO Perusahaan komputer raksasa DELL yang memproduksi PC (Personal Computer) dan Note book yang terbesar didunia dan perusahaan yang dibangun 19 tahun yang lalu dan mampu mengalahkan perusahaan raksasa lainnya seperti HP dan Compaq yang telah berumur lebih dari 50 tahun. Diusia 29 tahun Michael Dell sudah masuk dalam daftar 100 orang terkaya di dunia. Padahal sebelumnya di usia 19 tahun Michael Dell memulai usahanya sebagai salesman komputer dan mulai merakit dan menjualnya di kampus dan dia pun tidak menyelesaikan studinya namun hanya dalam waktu yang relatif singkat Dell dapat menguasai penjualan PC didunia.
Apa yang membuat Dell mampu berprestasi begitu luar biasa? Keyakinan, jawabnya. Keyakinan yang sangat kuat bahwa dia mampu menjadi yang terbaik. Usia yang muda dan minimnya pengalaman ketika dia memulai usahanya tidak membuat dia takut untuk bersaing dengan perusahaan sekelas HP dan IBM, bagi Dell usia muda berarti memiliki waktu yang lebih panjang untuk mencoba dan melakukan untuk menjadi yang terbesar dan terbaik didunia dan itulah yang dinamakan KEYAKINAN.
Bagaimana dengan kita? Karena keyakinan juga dapat tercipta karena referensi atau contoh pengalaman orang lain maka anda juga bisa mengambil atau bahkan "memodel" keyakinan dari orang-orang sukses seperti Michael Dell, Bill Gates, Michael Jordan atau siapa saja yang anda kagumi. Belajarlah dengan mereka, belajar cara mereka menghadapi tantangan, belajar belief system mereka dan hal lain yang anda butuhkan untuk menjadi yang terbaik karena untuk tujuan itulah manusia dilahirkan.
7.        Menjadi diri sendiri
Bagaimana menjadi diri sendiri? Diri Anda adalah Anda dengan segala keunikan dan potensi yang Anda miliki. Menjadi diri sendiri adalah Anda tetap dalam keunikan Anda, tanpa harus mengikuti siapa pun. Para sahabat Rasulullah saw pun tetap pada keunikannya masing-masing. Abu Bakar as, Umar Bin Khathab as, Ustman bin Afan as, dan Ali as pun memiliki keunikan masing-masing tanpa mengurangi kemuliaannya.
Kemudian setiap manusia memiliki potensi. Potensi yang bisa digunakan untuk meraih sukses sesuai dengan keunikannya masing-masing. Untuk menjadi diri Anda sendiri, Anda harus mengoptimalkan semua potensi diri Anda, tanpa harus merubah keunikan Anda atau mengikuti orang lain. Saat keunggulan unik Anda belum dimunculkan secara optimal, maka Anda belumlah menjadi diri sendiri. Mungkin baru setengahnya, atau bahkan seperempatnya, atau baru 10 persen? Bahkan kurang?
Mana bisa menjadi diri sendiri yang seutuhnya jika kita belum mengoptimalkan potensi diri kita seutuhnya? Kita tidak pernah tahu sampai dimana potensi diri kita. Namun sejauh mana pun kita sudah mengoptimalkan potensi diri saat ini, kita masih bisa terus meningkatkannya. Anda masih bisa lebih baik dari saat ini, sesukses apa pun Anda saat ini. Tidak ada yang namanya pencapaian puncak dunia ini. Yang ada hanya nanti di akhirat saat bertemu Allah SWT.
Jadi selama di dunia, kita masih bisa memperbaiki diri kita. Kita jadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin dan menjadikan hari esok menjadi lebih baik dari hari ini:
Barang siapa yang hari ini sama saja dengan kemarin, merugilah dia. Jika hari ini lebih buruk dari kemarin, dia celaka.Dan beruntunglah bila hari ini lebih baik dari kemarin.” (HR Bukhari)